MK dan Demokrasi Pancasila, Yoseph: Keputusan MK Tidak Menggunakan Azas Musyawarah

MK dan Demokrasi Pancasila, Yoseph: Keputusan MK Tidak Menggunakan Azas Musyawarah

Drs Yoseph Umarhadi, MA M,Si-istimewa-RADAR INDRAMAYU

INDRAMAYU, RADARINDRAMAYU.ID - Banyak orang menyatakan bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) itu bermasalah. Pertama, keputusan tersebut melahirkan norma baru yang melampaui kewenangan MK. Kedua, terjadi konflik kepentingan dalam proses pengambilan keputusan karena Ketua MK mempunyai hubungan kerabat dengan sosok yang berkepentingan atas gugatan itu, yakin Gibran Rakabuning Raka (putra sulung Presiden Joko Widodo).

Gibran tidak dapat dicalonkan karena usianya belum genap 40 tahun sesuai syarat perundangan yang berlaku. Maka, gugatan ke MK, siapapun penggugatnya, dengan mudah dapat dibaca demi meloloskan Gibran menjadi calon wakil presiden.

Hal tersebut disampaikan mantan Anggota DPR/MPR RI dari PDI Perjuangan, Drs Yoseph Umarhadi, MA, M,Si, pada acara diskusi bertema " "MK dan Demokrasi Pancasila Kita" bersama sejumlah wartawan, dan Tokoh Nasionalis Indramayu barat, kemarin.

"Dalam situasi semacam ini, muncul sebutan di antara warga negara Indonesia yang “merendahkan” dengan memplesetkan MK sebagai “Mahkamah Keluarga”ujarnya.

BACA JUGA:Mantap! Dana Rp2,1 Miliar untuk Puluhan Pokdakan

Disampaikan mantan wartawan senior Koran Kompas ini, drama dalam dunia politik adalah kewajaran karena politik adalah seni negosiasi. Oleh karena itu, drama menjadi sesuatu yang wajar. Namun, yang seharusnya menjadi concern adalah apa latar belakang drama itu? Apakah drama itu untuk sesuatu yang luhur karena orientasinya demi kepentingan rakyat ataukah demi memperjuangkan kepentingan kekuasaan kelompok semata?

" Pada kesempatan ini, saya akan membahas proses di MK itu dalam perspektif demokrasi Pancasila. Perspektif yang hampir sama sekali dilupakan dalam debat publik. Jika kita khidmat pada demokrasi Pancasila sebagai sebuah pilihan, maka apa yang terjadi dalam tubuh MK haruslah dikembalikan pada substansi demokrasi Pancasila" bebernya.

"Apakah keputusan sesuai dengan prinsip Demokrasi Pancasila?" imbuhnya.

Selanjutnya, Sila keempat adalah roh demokrasi Pancasila. Dikatakannya, ada tiga prinsip dasar dalam demokrasi Pancasila dengan merujuk sila keempat. Pertama, proses pengambilan keputusan dalam demokrasi Pancasila adalah musyawarah mufakat. Kedua, dalam proses tersebut, harus disertai dengan hikmat/kebijaksanaan. Ini berarti bahwa dalam proses pengambilan keputusan setiap hakim MK harus menggunakan keluhuran akal budinya, pengetahuan dan pengalamannya, serta kearifan untuk menghasilkan keputusan yang baik, keputusan yang adil demi kepentingan bersama.

Ketiga, karena sila keempat dijiwai oleh sila-sila lainnya, maka dalam proses pengambilan keputusan demokrasi harus mempertimbangkan ketuhanan dan kemanusiaan sebagai dasar moralitas, kemudian persatuan dan keadilan.

BACA JUGA:Penentuan Besaran UMK Masih Mengacu Survei dari Luar Kota

"Jika kita lihat secara keseluruhan, dapatlah disimpulkan bahwa proses pengambilan keputusan dalam MK dalam konteks gugatan batas usia minimal untuk capres dan cawapres tidak menggunakan asas musyawarah mufakat. Nyatanya, keputusan tersebut diwarnai disenting opinion. Bukan hanya satu, tetapi beberapa. Artinya, banyak hakim tidak bersepakat atas keputusan MK dalam hal batas usia minimal capres dan cawapres" kata pria berkacamata yang menyalonkan kembali (Nyaleg) di DPR RI dari dapil Jabar 8.

Menurutnya, Keputusan MK  tidak disertai dengan hikmat/kebijaksanaan. Ini karena keputusan MK menegasikan prinsip persatuan dan kesatuan. Satu hal yang tidak dapat dihindarkan bahwa keputusan itu telah menciptakan perselisihan di antara masyarakat.

Potensi konflik yang muncul dalam proses pemilu menjadi semakin besar karena keputusan MK tersebut. Tidak menutup kemungkinan, konflik akan semakin besar dan mengancam sendi-sendi persatuan bangsa. Jika keputusan MK benar-benar menggunakan akal budinya, maka pertimbangan persatuan dan kesatuan bangsa ini pasti mengemuka. Sayangnya, hal itu tidak terjadi.

Keputusan MK juga tidak mempertimbangkan dimensi keadilan. Kurangnya hikmat/kebijaksanaan dalam proses pengambilan keputusan di MK telah mencederai rasa keadilan. Dalam keputusan MK. Disebutkan bahwa seseorang yang berusia di bawah 40 tahun dapat mencalonkan diri menjadi presiden atau wakil presiden jika sudah mempunyai pengalaman di pemerintahan.

BACA JUGA:Kertajati akan Jadi Embarkasi Haji 2024, Pemerintah Usulkan BPIH Rp105 Juta Per Jamaah

Ini jelas mencederai keadilan karena pengalaman organisasional tidak hanya melulu di pemerintahan. Pengalaman manajemen organisasi dapat ditimba dalam perusahaan-perusahaan nasional dan multinasional, atau bahkan organisasi-orgisasi nirlaba yang bergerak dalam bidang sosial.

Oleh karena itu, keputusan MK telah menciptakan unfair competition, kompetisi yang tidak adil.
Kurangnya hikmat/kebijaksanaan dalam proses pengambilan keputusan inilah, menjadi tidak mengherankan jika Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menjatuhkan sanksi terhadap Ketua Hakim MK karena pelanggaran etis.

Ini menunjukkan hilangnya hikmat/kebijaksanaan dalam pengambilan keputusan. Itu belum mencakup pertimbangan-pertimbangan hikmat/kebijaksanaan dalam kerangka Ketuhanan dan kemanusiaan yang menjadi dasar moralitas.

Keputusan MK Melanggar Kedaulatan Rakyat?

Akhirnya, satu pertanyaan penting yang layak diajukan dalam pengabulan MK atas usia minimal calon presiden dan wakil presiden adalah: apakah keputusan itu melanggar prinsip kedaulatan rakyat? Jawabannya tentu saja: iya. Pengaturan atas batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden seharusnya disusun oleh parlemen yang merupakan wakil-wakil rakyat.

BACA JUGA:Presiden Jokowi Bertemu Presiden Biden, Bahas Kemitraan Indonesia-AS untuk Perdamaian Global

Wakil-wakil inilah yang secara sah menyusun undang-undang, termasuk undang-undang pemilu yang di dalamnya ada batas usia capres dan cawapres. Dalam proses penyusunan undang-undang, ada diskusi dan perdebatan luas untuk mendapatkan hasil keputusan terbaik. Ini menjadi sarana paling sahih dalam menegakkan kedaulatan rakyat.

Namun, keputusan MK yang menganulir aturan tersebut bukan saja bersifat elitis, tetapi juga menegasikan prinsip-prinsip itu. Keputusan MK menegasikan demokrasi dan keadaualatan rakyat. Oleh karena itu, drama politik yang disebiabkan oleh putusan MK mengenai putusan batas usia capres dan cawapres, bukan saja menunjukkan apa atau siapa sebenarnya penyebab drama politik, tetapi sekaligus betapa putusan itu mencederasi prinsip-prinsip demokrasi Pancasila.

Kenyataan ini sungguh menyesakkan karena hal ini terjadi dan dilakukan oleh lembaga yang seharusnya menjadi “gawang akhir” bagi pelaksanaan Pancasila sebagai dasar falsafah Bangsa Indonesia. (kom)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: