Nelayan Rajungan Berharap Kran Ekspor Segera Dibuka

Nelayan Rajungan Berharap Kran Ekspor Segera Dibuka

BERGANTUNG EKSPOR: Nelayan tradisional di Pesisir Pantai Utara Kecamatan Patrol berharap kran ekspor rajungan segera dibuka.-KHOLIL IBRAHIM-RADAR INDRAMAYU

Radarindramayu.id, PATROL-Penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Group of Twenty (G20) tahun 2022 di Bali berakhir.

Nelayan tradisional di Pesisir Pantura Bumi Wiralodra turut memberikan apresiasi suksesnya pelaksanaan forum kerja sama multilateral dari negara-negara yang dianggap memiliki kelas pendapatan menengah hingga tertinggi tersebut.

Mereka berharap, ajang internasional yang diikuti 19 negara utama dan Uni Eropa serta dihadiri 17 pemimpin dunia itu berdampak positif terhadap nasib mereka. Yakni dengan segera dibukanya ekspor rajungan.

 “Harapannya ya penutupan kran ekspor rajungan yang hampir satu tahun berjalan ini secepatnya dibuka kembali. Supaya nasib nelayan kami tidak terus terpuruk seperti sekarang ini,” harap Ketua TPI Desa Sukahaji, Kecamatan Patrol, H Thamrin kepada Radar Cirebon, Kamis (1711).

BACA JUGA:Edan! Ayah Cabuli Anak Tiri Sejak Kelas 6 SD

Dia menjelaskan, hasil tangkapan rajungan nelayan biasanya dipasarkan untuk ekspor ke luar negeri. Beberapa peserta KTT GT 20 di Bali seperti Tiongkok, Amerika serta India merupakan negara penyerap berbagai komoditas seafood terbesar dari Indonesia.

Namun lantaran ekspor ditutup, membuat harganya merosot. Kini di kisaran Rp30-35 ribu per kilogram. Padahal sewaktu ekspor masih dibuka, harga rajungan di kisaran Rp100-125 ribu sekilo.

“Mudah-mudahan hasil pertemuan pemimpin negara di ajang KTT GT 20 kemarin itu ada kerja sama yang bermanfaat bagi nelayan kami. Salah satunya membuka kran ekspor rajungan,” jelasnya.

Thamrin mengungkapkan, selain tak kunjung membaiknya harga rajungan, penyebab keterpurukan ekonomi nelayan saat ini adalah akibat naik dan semakin sulitnya memperoleh BBM jenis solar bersubsidi.

BACA JUGA:Polisi Tangkap Pengedar Sabu di Losari

Meski mengantongi surat rekomendasi dari pihak berwenang, para nelayan tidak dengan mudah mendapatkan BBM solar di SPBU yang harganya Rp6.800 per liter.

“Di SPBU itu solar subsidi jarang ada. Akhirnya nelayan terpaksa beli eceran diwarung yang harganya Rp9000 seliter. Modal melaut tambah bengkak, sementara pendapatan justru menurun,” ungkapnya.

Dia memprediksi, jika kondisi seperti ini tidak mendapat perhatian atau solusi dari pemerintah, maka nasib nelayan bakal benar-benar kolaps.
Ditambah lagi, sekitar sebulan kedepan akan memasuki musim baratan. Otomatis mayoritas nelayan ramai-ramai turun jangkar.

BACA JUGA:Polisi Tangkap Pengedar Sabu di Losari

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: