Tanpa Jumbo
MENGAPA Hong Kong disebut surga makanan? Banyak ahli berdebat soal mengapa. Kesimpulannya: koki terbaik berkumpul di Hong Kong. Mereka mencari penghasilan yang lebih baik.
Ahli bubur pindah ke Hong Kong. Ahli seafood apalagi. Ahli sayur pun mengikuti. Tentu juga ahli masakan babi.
Mungkin Anda punya teori sendiri. Apalagi Anda sudah tahu: Tiongkok itu miskin sekali. Setidaknya sebelum tahun 2000. Selama 80 tahun sebelum itu.
Di masa itu, yang kaya pindah dari Tiongkok. Untuk mengamankan kekayaan. Yang miskin juga pindah. Untuk keluar dari kemiskinan. Yang pintar pun ikut pindah –untuk bisa menerapkan kepintarannya.
Di negara miskin, sepintar-pintar juru masak akan kalah. Pilihan-pilihan bahan makanannya kalah bermutu. Mau cari yang bermutu jatuhnya akan mahal. Daya belinya tidak ada.
Yang punya daya beli adalah Hong Kong. Pun Singapura masih sangat miskin kala itu. Hong Kong telah menjadi Eropa di Timur. Di bawah pemerintahan Inggris. Hong Kong telah menjadi pusat perdagangan Asia. Pelabuhannya yang terbaik saat itu: dalam, tidak ada pendangkalan dan tanpa ombak, terlindung oleh pulau. Sistem hukumnya juga menjamin kepastian usaha.
Begitulah hukum alamnya. Keahlian mengalir ke mana-mana mengikuti uang.
Itulah yang dikhawatirkan sekarang.
Besok, 1 Juli 2022, Hong Kong genap 25 tahun kembali ke pangkuan ibu pertiwi –Tiongkok. Besok pemimpin baru Hong Kong juga dilantik: John Lee.
Mantan komandan polisi Hong Kong itu memang menjanjikan zaman baru. Saat kampanye Pemilu dulu. Tapi belum konkret rinciannya.
Keunggulan utama Hong Kong, selama ini, adalah: pusat keuangan Asia. Ia juga gabungan ideal antara sangat Asia dan sangat global: A Local World City.
Orang bisa mendirikan perusahaan di Hong Kong dalam waktu 30 menit. Tanpa harus punya kantor di sana. Budaya wiraswastanya sudah mendarah-mendaging. Juga budaya keuangannya.
Itulah yang dikhawatirkan akan berubah.
Tanda-tanda perubahan itu tidak ada. Sampai tiga tahun lalu. Tiongkok sudah menetapkan konstitusi satu negara dua sistem. Hong Kong dijamin oleh konstitusi untuk punya sistem sendiri –meneruskan sistem lama.
Lalu meledaklah gerakan pro-demokrasi di Hong Kong. Tiga tahun lalu. Awalnya hanya untuk menentang RUU baru –pelaku kriminalitas boleh diekstradisi. Kian hari demo itu kian berkembang ke arah politik: minta Hong Kong merdeka. Tidak terang-terangan begitu, tapi sinyalnya ke sana.
Tiada hari tanpa demo. Selama hampir dua tahun. Kian besar. Kian brutal. Tiongkok risau.
Maka lahirlah RUU Keamanan Nasional Hong Kong. Agar polisi bisa menindak para demonstran –yang menurut sistem lama tidak boleh ditindak.
Dengan UU itu, tokoh-tokoh pro-demokrasi ditangkap. Banyak di antara mereka mahasiswa. Ada juga pemilik media: Jimmy Lai. Ia bos Apple Daily yang pro-demokrasi. Koran itu sampai tutup.
Kemarin-kemarin soal keresahan masa depan Hong Kong ini belum banyak dibicarakan. Semua masih sibuk dengan Covid-19. Pemberangusan gerakan pro-demokrasi masih bisa diselubungi oleh alasan demi mengatasi pandemi.
Tahun ini, setelah pandemi mulai bisa diatasi, pembicaraan masa depan Hong Kong akan kembali ramai. Faktornya tidak hanya perubahan di sistem keamanan. Secara eksternal zaman juga sudah berubah. Ada faktor Korea dan Singapura. Yang dulu bukan siapa-siapa.
Yang lebih nyata justru faktor Tiongkok sendiri. Yang kini jauh lebih kaya dari Hong Kong.
Soal keunggulan bursa saham Hong Kong misalnya, sudah menurun. Sudah tergerogoti oleh kebesaran bursa saham Shanghai. Bahkan oleh bursa di tetangga sebelah dindingnya: Shenzhen.
Soal surga makanan juga mulai dipertanyakan. Tarif di Shanghai dan Beijing kini sudah lebih mahal dari restoran di Hong Kong. Artinya: koki terbaik tidak harus lari ke Hong Kong. Bahkan yang dulu merantau ke Hong Kong sudah balik lagi ke daratan.
Status surga makanan di Hong Kong memang masih belum hilang. Tapi sudah banyak surga-surga lain di sekitarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: