Dalam ajaran Islam, musyawarah bukan sekadar sarana, tetapi merupakan nilai pokok dalam tata kelola kehidupan umat manusia.
Allah SWT menegaskan dalam Al-Qur’an:
"Dan (bagi) orang-orang yang menerima (taat) kepada Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka..."
(QS. Asy-Syura: 38)
Nabi Muhammad SAW pun memberi teladan, meskipun beliau seorang utusan Allah, namun dalam banyak urusan, beliau tetap bermusyawarah dengan para sahabatnya:
"Tidak akan kecewa orang yang bermusyawarah.”
(HR. Thabrani)
Dalam pandangan fikih siyasah, pemimpin tidak boleh memaksakan kehendaknya jika bertentangan dengan kemaslahatan umum. Kaidah menyatakan:
*Tasharruful imam ‘ala ra’iyyatihi manuthun bil maslahah"
(Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya harus didasarkan pada kemaslahatan bersama).
Senada dengan nilai-nilai Islam, filsafat hidup Sunda juga menjunjung tinggi prinsip kebersamaan dan harmoni dalam setiap tindakan. Leluhur Sunda mengajarkan:
"Rembug téh kudu disorang heula, saméméh lampah dicorang."
(Musyawarah harus didahulukan, sebelum sebuah tindakan dijalankan).
"Silih asah, silih asih, silih asuh."
(Saling mengasah ilmu, saling menyayangi, dan saling membimbing).
"Ulah matak bendu batur, ulah ngarempak rasa."