Nelayan Indramayu Keberatan dengan Tarif PNBP 10 Persen. Tuntut Penurunan Tarif!
Diskusi Terbuka nelayan Indramayu di TPI Karangsong Kabupaten Indramayu,menolak tarif PNPB 10 persen-utoyo prie achdi-
INDRAMAYU, RADARINDRAMAYU.ID – Keluarnya PP Nomor 85 Tahun 2021, tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar 10 persen, ternyata sangat memberatkan nelayan.
Tak heran, nelayan Kabupaten Indramayu, Jawa Barat yang tergabung dalam Front Nelayan Bersatu (FNB) menolak implementasi peraturan pemerintah tersebut.
Besaran tarif 10 persen itu menurut mereka sangat memberatkan. Karena nelayan juga harus mengeluarkan biaya operasonal yang sangat besar ketika melaut, baik untuk perbekalan, maupun yang lainnya.
Menyikapi hal tersebut, FNP menggelar diskusi terkait penerapan penangkapan ikan terukur (PIT) dengan tarif 10 persen, dengan mengundang perwakilan pemerintah daerah dan pihak terkait lainnya.
Ketua FNB, Kajidin mengatakan, dalam diskusi tersebut pihaknya sengaja mengundang banyak pihak, termasuk dari Dinas Perikanan dan Kelautan, minimalnya agar mereka bisa tahu kondisi para nelayan hari in.
“Syukur-syukur mereka juga mau berjuang bersama kita menyuarakan keluhan-keluhan kita," tegas Kajidin.
Kajidin mengungkapkan, para nelayan saat ini tidak dalam kondisi baik-baik saja. Nelayan terbebani dengan kondisi yang terjadi sekarang ini. Mulai dari pandemi Covid-19 yang melanda, anjloknya harga ikan tangkap, kemudian dampak dari kenaikan BBM.
“Eh, terakhir justru muncul kebijakan yang justru membebani nelayan,” ungkapnya kesal.
Dari hasil diskusi tersebut, FNB sepakat untuk mendesak Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Sakti Wahyu Trenggono, agar meninjau ulang kebijakan tersebut.
BACA JUGA:Kasus Pencurian Buku Pelajaran di 37 Sekolah, Ternyata Motifnya Cuma Ekonomi
Nelayan meminta agar besaran tarif yang dikenakan untuk PNBP pasca-penangkapan yang ditetapkan pemerintah idealnya yakni sebesar 5 persen untuk kapal di atas 60 gross ton (GT) dan besaran tarif sebesar 3 persen untuk kapal berukuran dibawah 60 GT.
"Saat kapal masuk terus pendapatannya dipotong dengan besaran yang sangat besar, ya sakitlah kita, dimana letak keadilannya? Kita tidak mempermasalahkan tarifnya, yang kita permasalahkan itu besaran tarifnya," tegas Kajidin.
Sekretaris FNB, H Robani menambahkan, pihaknya sudah menghitung akan ada banyak pengusaha yang gulung tikar bilamana kebijakan tersebut benar diterapkan.
Namun, jika besaran tarif yang dikenakan sebesar 5 persen untuk kapal di atas 60 GT dan 3 persen untuk kapal di bawah 60 GT, pihaknya menilai para nelayan masih bisa untuk bertahan.
"Akan banyak pengusaha yang tidak bisa bertahan jika besaran 10 persen diterapkan. Apakah pemerintah mau melihat kondisi rakyatnya seperti itu?" ujarnya.
BACA JUGA:Pencuri Buku Pelajaran di 37 SD Indramayu Akhirnya Tertangkap
Sementara Ketua HNSI Indramayu, Dedi Aryanto mengatakan, pihaknya sangat mendukung keinginan para nelayan agar besaran PNBP pasca penangkapan diturunkan.
Menurutnya, HNSI di seluruh Indonesia pun akan ikut berjuang termasuk melakukan aksi apabila pemerintah tidak mendengar keluhan dari para nelayan
"Kita akan sosialisasi ke seluruh HNSI di seluruh Indonesia untuk ikut mendukung nelayan di pantura Jawa," ujar dia.
Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan (Diskanla) Kabupaten Indramayu, Edi Umaedi yang juga hadir dalam diskusi tersebut, menyatakan turut mendukung keinginan dari para nelayan.
Edi mengaku bisa memahami kondisi nelayan Indramayu saat ini, dan akan bersama-sama berjuang mengusulkan keluhan tersebut kepada KKP.
"Para nelayan bukan berarti menolak, mereka hanya ingin besaranya berkurang. Tentu kami memahami itu dan akan kita coba usulkan juga," ujar dia.
Salah seorang pemilik kapal, H Amsori, juga berharap pemerintah bisa memahami kondisi nelayan di lapangan.
Dikatakan, saat ini nelayan sedang susah mendapatkan hasil tangkapan. Sementara di sisi lain harga sejumlah barang termasuk perbekalan mengalami kenaikan. Belum lagi ada biaya-biaya untuk perbaikan kapal, perbaikan jaring dan yang lainnya.
H Amsor juga mengakui kalau untuk saat ini kondisi nelayan sedang susah. Ia bahkan mengaku pernah merugi, ketika berangkat dengan biaya operasional mencapai Rp700 juta, sementaran hasilnya hanya sekitar Rp600 juta,
“Jadi pemerintah harus tahu kondisi nelayan di lapangan !” tegasnya.(oet)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: