Sawit Siklus

Sawit Siklus

Dahlan Iskan--

Jadi, kapan harga minyak goreng turun? Mungkin menunggu Putin turun takhta. Itulah yang lagi diupayakan Amerika. Atau menunggu siklus dunia minyak goreng. Akan sampai saatnya harus turun.
Siklus itu agak panjang. Dimulai dari putusan sapu jagat itu. Ekspor dilarang. Pabrik minyak goreng merespons. Yang punya kebun memilih menggunakan buah sawit dari kebun sendiri. Lebih murah. Juga bisa mengurangi resiko kebun.

BACA JUGA:FEDI Sukses Bantu Pesepeda Mudik Lewat Jalur Pantura

BACA JUGA:Begini Nasib Barongsai Selama Pandemi Covid-19

Buah sawit yang masak kan harus dipanen. Pabrik minyak goreng yang tidak punya kebun, merespons dengan ini: hanya mau membeli sawit dari rakyat dengan harga turun.
Siklus berikutnya: harga sawit rakyat turun. Seminggu setelah larangan ekspor CPO/Migor itu, sudah turun dari Rp2.450 ke Rp2.350. Sekitar itu.

Tergantung lokasi. Minggu kedua setelah larangan ekspor turun lagi. Jadi Rp2.150. Petani sawit mulai menjerit. Terutama yang kebunnya belum berumur 8 tahun.
Kebun sawit itu, belum menghasilkan di umur 3 tahun. Setelah itu, sampai umur 5 tahun pun, hasilnya belum banyak. Baru sekitar 1,5 ton/hektare.

Baru setelah berumur 8 tahun bisa menghasilkan 3 ton/hektare/bulan. Maka, ketika kebun masih belum 6 tahun, hasilnya belum banyak. Harga yang turun terus menyulitkan petani.
Bagi yang sudah 8 tahun, harga sekarang pun belum rugi. Untungnya yang berkurang banyak. Dengan harga sekarang, berarti harga sawit sudah turun sekitar 12 persen.

Apakah otomatis harga jual minyak goreng bisa turun 12 persen? Anda sudah tahu: tidak. Perlu satu siklus tersendiri. Yakni siklus stok bahan baku, siklus produksi, siklus gudang dan siklus distribusi. Pabrik minyak goreng hanya bisa berproduksi.

BACA JUGA:PT Pertamina EP Wujudkan Asa Masyarakat Berdaya di Wilayah Jawa Barat

BACA JUGA:Perkuat Distribusi, CCEP Indonesia Gunakan Corporate Billing Management BRI

Mereka tidak punya jaringan distribusi sampai toko di dekat rumah Anda.
Saya tidak punya kebun sawit. Maka saya tidak bisa cepat menghitung: sampai di angka berapa petani bisa menerima penurunan harga itu. Yang pasti tidak mungkin bisa kembali seperti dulu: Rp1450/kg. Harga pupuk sudah naik banyak.

Harga BBM juga naik banyak. Upah buruh pun naik banyak.
Kalau dipaksa berhemat yang jadi korban pertama adalah upah buruh. Kalau harga sawit menjadi Rp2.000/kg berarti sudah turun 20 persen. Cukup.

Asal harga minyak goring juga bisa turun 20 persen. Tapi hukum pasar tidak begitu. Siklus itu terlalu panjang. Kerugian negara juga terlalu besar.

Apalagi kalau penurunan harga itu sampai berpengaruh pada menurunnya kualitas pemupukan dan perawatan. Kebun akan rusak. Untuk jangka yang panjang. Maka tetaplah lebih baik ekspor dibuka lagi.
DMO dijalankan dengan disiplin –termasuk sanksi yang keras. Subsidi diberikan sewajarnya. Dan BLT diteruskan. Selebihnya: tugas sepenuhnya pemerintah untuk menaikkan pendapatan rakyat. (dahlan iskan)

BACA JUGA:Nikuba Hidrogen Kian Terkenal, Diminati Negara ASEAN Hingga Amerika Latin

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: disway.id

Berita Terkait