
“Siapa yang akan membayar gaji mahal pemain naturalisasi jika bukan mereka? Apa yang akan terjadi pada penerus pemain lokal?” sindir Duong dalam wawancara tersebut.
Hal ini menyinggung masalah serius tentang ketergantungan terhadap individu, bukan sistem yang kuat dan berkelanjutan.
Kritik Vietnam ini bukan tanpa dasar, meski sukses mendatangkan pemain diaspora seperti Rafael Struick, Ivar Jenner, hingga Sandy Walsh, PSSI juga mendapat tekanan untuk memperhatikan pembinaan usia muda dan kompetisi lokal yang masih jauh dari kata stabil.
Hal serupa juga terjadi di Malaysia, yang akhir-akhir ini menghadirkan sejumlah pemain naturalisasi Eropa yang belum tentu berdarah Malaysia secara jelas.
Keputusan Federasi Sepak Bola Malaysia (FAM) pun menuai reaksi keras dari publik dan media lokal yang mempertanyakan transparansi proses naturalisasi itu sendiri.
Meski Vietnam juga tidak lepas dari kekurangan, mereka bangga dengan sistem pembinaan yang menghasilkan nama-nama seperti Nguyen Quang Hai dan Doan Van Hau.
Mereka yakin bahwa keberlanjutan sepak bola harus ditopang oleh akar rumput, bukan hanya investasi jangka pendek atau "bintang instan".
Indonesia dan Malaysia kini berada di persimpangan jalan.
Apakah akan terus menggantungkan nasib timnas pada pemain hasil "impor", atau mulai memperkuat akar sepak bola lokal demi kejayaan jangka panjang?
Kritik dari Vietnam setidaknya menjadi cermin yang layak direnungkan, tak hanya oleh federasi, tapi juga oleh publik pencinta sepak bola.