Siapa tahu masa depan segi-lima Hong Kong-Shenzhen-Guangzhou-Zuhai-Macao dibicarakan di sit
Persiapannya sudah begitu lama. Jembatan di atas laut terpanjang di dunia dibangun di segilima ekonomi itu. Bahkan sudah empat tahun selesai: jembatan Hong Kong-Macao-Zuhai. Saya sudah beberapa kali melewatinya –menjelang Covid. Tapi belum terasa jembatan baru ini menjadi faktor mendorong pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut. Baru bus-bus turis yang diijinkan lewat. Seolah investornya tidak kesusu balik modal.
Banyak yang berharap momentum peringatan 25 tahun Hong Kong ini dikaitkan dengan konsep kebangkitan ekonomi segi-lima. Tentu dengan Hong Kong sebagai kepala naganya.
Salah satu indikator perubahan yang ditunggu adalah juga ini: apakah kebebasan internet di Hong Kong tetap dipertahankan. Atau internet Hong Kong akan dikontrol seperti di daratan. "Kalau internet di Hong Kong juga disensor habislah keistimewaan Hong Kong," ujar pengamat politik di sana, seperti ditulis media di Hong Kong.
Belum tentu juga.
Budaya bisnis di Hong Kong sulit diubah. Saya bisa membedakan gaya bisnis Hong Kong dengan gaya bisnis Singapura. Gaya bisnis Hong Kong lebih mendorong kecepatan usaha.
Misalnya begini: dua orang bos bertemu. Mereka ingin bekerja sama. Jual beli saham. Jual beli perusahaan. Atau joint venture. Atau transaksi apa saja.
Setelah bicara-bicara angka, mereka sepakat. Salaman. Atau minum baijiu. Atau bir.
Setelah itu tugas staf masing-masing untuk mewujudkan kesepakatan bos mereka. Untuk mengatur detailnya. Mengatur administrasinya. Mengatur dokumen hukumnya.
Tidak ada staf yang kemudian menghadap bosnya untuk mengatakan: tidak bisa dijalankan. Staf di sana tidak akan bilang "transaksi sulit dilaksanakan. Misalnya karena banyak masalah hukum dan administrasi. Sang bos akan marah. "Kalian digaji untuk menyelesaikan semua itu".
Di Hong Kong tugas staf adalah membereskan semua kesulitan yang timbul akibat kesepakatan. Kalau ada dokumen hukum yang tidak mendukung, harus diusahakan bagaimana agar dokumen itu ada. Kalau ada hitungan yang tidak cocok, bagaimana supaya cocok.
Maka jarang ada kesempatan bisnis di Hong Kong yang tidak jalan.
Di Singapura proses itu kebalikannya. Staf mempelajari dulu seluruh detailnya. Barulah bos bertemu. Untuk membuat keputusan.
Praktik bisnis yang seperti itu akan terus menjadi keunggulan tak terlihat di Hong Kong. Dan itulah keunggulan utamanya. Yang sulit digeser negara manapun.
Tentu kini Hong Kong sudah kehilangan salah satu keunggulan kecilnya. Hilang permanen. Tidak akan bisa kembali lagi. Yakni resto terapungnya itu. Yang Anda pasti pernah mencobanya: Restoran JUMBO. Ratu Elizabeth pun pernah makan di situ. Pun banyak bintang film.
Restoran JUMBO terbuat dari kapal. Terapung. Pintu gerbangnya dibuat seperti gerbang kerajaan Tiongkok masa lalu. Dapurnya terpisah. Juga kapal. Lebih kecil. Menempel di JUMBO.
Dapur itu tenggelam dua bulan lalu. Tidak ada masalah. Toh JUMBO lagi tutup. Sudah dua tahun tutup. Akibat pandemi.
Icon Hong Kong itu rugi besar. Pemerintah Hong Kong tidak tertarik untuk menyelamatkannya. Padahal itu sudah menjadi legenda di Hong Kong.
JUMBO dibuat tahun 1976. Oleh Stanley Ho, bos bisnis perjudian di Macao. Sudah berumur 45 tahun lebih.
Tiba-tiba saja, pekan lalu, restoran itu ditarik ke tengah laut. Justru ketika Covid sudah reda. 'Istana itu terus ditarik menjauhi pantai. Banyak orang memotret kepergiannya. Kian jauh. Kian ke laut selatan.
Tiga hari kemudian muncul berita singkat: JUMBO tenggelam di Laut China Selatan. Di dekat kepulauan Spratly. Posisinya sudah di selatan Hanoi. Sudah di selatan Manila. Berarti tidak dipindah ke Vietnam. Atau Filipina.
Akan dibawa ke mana restoran JUMBO?
Tidak ada yang tahu. Perusahaan merahasiakannya kuat-kuat. Dugaan saya: akan dibawa ke Batam. Masuk dok di Batam. Atau dibawa ke Singapura. Dijual sebagai besi tua. Tempulu harga besi tua lagi tinggi. Apalagi kalau kapalnya buatan Jepang.
Saya ikut sedih JUMBO telah pergi. Tapi ya sudahlah. Yang pergi harus pergi. Yang datang harus dinanti. (Dahlan Iskan)