Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Masih Tinggi

Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Masih Tinggi

INDRAMAYU - Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Indramayu cukup memprihatinkan. Data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Indramayu, tahun ini tercatat ada 31 kasus hingga bulan September, atau meningkat dibandingkan tahun 2018 lalu sebanyak 30 kasus. Upaya sosialisasi secara luas yang dilakukan DP3A pun terbentur minimnya anggaran. “Jumlah tersebut adalah yang dilaporkan kepada kami. Kasusnya juga bermacam-macam, dari tindak kekerasan hingga pencabulan dan yang lainnya,” terang Kepala DP3A, Dra Hj Lily Ulyati, didampingi Pelaksana Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Uus Usyatno SE, saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (19/9). Uus menjelaskan, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak itu di antaranya terdiri dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), trafiking, persetubuhan/perbuatan cabul/pelecehan seksual, penelantaran, depresi dan anak bermasalah hukum. Dikatakankan, dari 31 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak itu, yang terbanyak adalah kasus trafiking, yakni mencapai 11 kasus. Dari 11 kasus itu, sebanyak sepuluh kasus menimpa anak-anak dan satu kasus menimpa korban berusia diatas 18 tahun. Selain trafiking, kasus terbanyak lainnya adalah persetubuhan/perbuatan cabul/pelecehan seksual, yang mencapai delapan kasus. Di antara kasus tersebut, pelakunya di antaranya adalah orang terdekat korban, bahkan masih terikat ikatan keluarga. “Ada kakek usia 60 tahun tega mencabuli balita yang masih keluarganya,” ujar Uus. Lily menambahkan, peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak pada tahun ini dilatari dengan semakin banyaknya warga yang berani melaporkannya. Hal itu seiring keberadaan P2TP2A Kabupaten Indramayu yang mulai beroperasi sejak Januari 2019. Meski demikian banyak juga korban yang masih tidak mau melaporkan kasus yang menimpanya. Lily menjelaskan, terjadinya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Indramayu di antaranya dilatarbelakangi oleh perceraian orang tua ataupun kepergian orang tua untuk bekerja sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri. Akibatnya, tumbuh kembang dan pergaulan anak-anak meereka menjadi tidak terpantau. “Kami akan terus gencar melakukan sosialisasi mengenai pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk mengenai keberadaan P2TP2A. Warga diminta tak perlu takut untuk melaporkan kasus kekerasan yang menimpa mereka,” tegasnya. Namun Lily mengakui, upaya sosialisasi itu tak bisa dilakukan secara maksimal. Minimnya anggaran membuat sosialisasi baru bisa dilakukan secara terbatas. Selain upaya sosialisasi,lanjutnya, upaya untuk mengantisipasi terjadinya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak juga dilakukan melalui pembentukan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) di desa-desa. Melalui PATBM, sosialisasi mengenai perlindungan terhadap perempuan dan anak bisa dilakukan di tingkat desa. “PATBM juga berfungsi melakukan pendampingan jika ada warga di desa yang mengalami kasus kekerasan,” tuturnya. Sayan, dari 317 desa di Kabupaten Indramayu, baru 50 desa yang sudah membentuk PATBM. Dari jumlah tersebut yang mandiri baru ada tiga desa, yakni Desa Benda Kecamatan Karangampel, Desa Telukagung Kecamatan Indramayu dan Desa Anjatan Baru Kecamatan Anjatan. “Desa yang melaksanakan PATBM mandiri itu menunjukkan bahwa desa tersebut membiayai sendiri kegiatannya dengan menggunakan dana desa. Sedangkan desa lainnya, baru sebatas pembentukan PATBM saja,” pungkasnya. (oet)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: