Tanpa Sakit

Tanpa Sakit

--

Pasiennya luar biasa banyak. Ia disenangi masyarakat. Sejak lahir, SD sampai SMP ia memang sekolah di desa itu. SMA-nya pun di Krian. Bahkan ketika kuliah di Unair Surabaya, ia tetap tinggal di Krian –pulang pergi ikut kereta komputer. Itu lebih murah daripada kos di Surabaya. Dan lagi ia memang sudah menyatu dengan desa itu.
Istrinya pun dari desa itu. Sang istri juga kuliah di Unair: ekonomi. Juga naik kendaraan umum seperti dr Agus. Hubungan dr Agus dengan masyarakat desa itu sudah seperti keluarga besar. Ia tahu siapa yang harus digratiskan ketika ke tempat praktiknya.

Suatu saat ia melirik salah satu pasiennya membuka laci mejanya. Si pasien mengambil uang dari laci itu. Dokter Agus pura-pura tidak melihat. Pasti orang itu sangat perlu uang. "Toh yang diambil uang kecil," ujarnya. "Kalau diambil semua, ya, saya ngamuk," tambahnya lantas tertawa.
Dari sekadar tempat praktik, dr Agus bikin klinik kecil. Berkembang ke klinik besar. Akhirnya berdiri rumah sakit: 120 bed. Type C. Awalnya dr Agus ingin mencantumkan nama ayahnya sebagai nama rumah sakit: Adzim Medika. Abdul Adzim.

Tapi ayahnya itu, ketika itu, masih hidup. Nama RS, aturan saat itu, tidak boleh diambil dari orang yang masih hidup. Kebetulan Sang Kakek sangat memuji cucu yang bernama Agus itu. Diam diam. Dokter Agus pernah mencuri dengar omongan kakeknya kepada neneknya. Tentang pujian sang kakek itu.

Kelak, di awal tahun 2000-an, ketika dr Agus membangun masjid di kompleks rumah sakit itu, nama sang ayah jadi nama masjid itu: Al Adzim. Sebagai rumah sakit di pinggir jalan by pass, Anwar Medika sering menerima korban kecelakaan. Itu merangsang dr Agus untuk melengkapi rumah sakitnya dengan fasilitas forensik.

Jadilah korban kecelakaan di seluruh kawasan Sidoarjo, Krian, Mojokerto diforensik di Anwar Medika. Kelebihannya: hasil forensik di situ bisa keluar dalam 1 atau 2 jam. Tidak lagi 24 jam seperti ketika terpusat di Surabaya.
Musim semi dan musim panas sudah lewat. Masuklah musim gugur. Rumah-rumah sakit hasil kerjasama para dokter berguguran. Orang seperti dr Agus tinggal menadahi guguran-guguran itu. Demikian juga konglomerat seperti grup Mayapada.

Dokter Agus memang mengajak 4 dokter lain menjadi pemegang saham di Anwar Medika. Tapi 4 orang itu kakak-adiknya sendiri. Dan lagi saham di situ tidak dibagi rata. Dokter Agus memegang 52 persen. Dengan demikian tidak akan ruwet. Ada pemegang veto di rumah sakit itu: dr Agus sendiri.

Setelah membeli 3 rumah sakit dr Agus mendirikan universitas. Di tanah sawah lima hektare itu: Universitas Anwar Medika. Ia merintisnya sejak beberapa tahun lalu. Wujud awalnya sekolah tinggi. Semua jurusannya di bidang kesehatan: keperawatan, farmasi, laboratorium, dan kebidanan. Dengan menjadi universitas ia menambahkan jurusan bisnis, informatika, manajemen dan segera membuka fakultas kedokteran.

"Izinnya lagi diurus," katanya.
Ke depan, dr Agus akan mengembangkan program "Sehat Tanpa Sakit". Ia masih merahasiakan sistem baru yang akan dikembangkan itu. Tapi ia sudah mulai mencoba metode pengobatan untuk rambut, kulit dan peremajaan sel tanpa stemcell.

"Tidak takut jadi masalah seperti dokter Terawan?" tanya saya. "Saya tidak menemukan obat baru kok. Saya hanya menemukan cara mengatasi semua itu," katanya. Tentu saya ingin menjelaskan semua itu. Suatu saat nanti. Terutama kalau saya sudah menjalaninya sendiri.
Kapan-kapan. (dahlan iskan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber:

Berita Terkait