INDRAMAYU, RADARINDRAMAYU.ID - Selain tari topeng, dan batik tulis Paoman, di Kabupaten Indramayu juga memiliki warisan budaya tak benda (WBTB) lainnya, yaitu tenun gedogan berasal dari Desa Juntikebon, Kecamatan Juntinyuat, yang saat ini teknik menenunnya sejak zaman kolonial Belanda hingga sekarang masih terjaga oleh Sunarih (72) satu-satunya penenun gedogan yang ada di Desa Juntikebon, Kabupaten Indramayu.
Terletak di pesisir utara laut Jawa, Kabupaten Indramayu memiliki kekayaan alam yang terbilang sangat melimpah, baik itu dari hasil pertanian dan perikanannya, dibalik itu semua Kabupaten Indramayu juga sangat kaya akan warisan budaya yang sudah melekat melengkapi sendi-sendi kehidupan penduduknya, salah satunya tenun gedogan.
Berasal dari sebuah desa kecil yang terletak di wilayah Indramayu bagian utara, yaitu di Desa Juntikebon, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, jika dari pusat kota Indramayu menuju Desa Juntikebon berjarak sekitar 22 KM, untuk sampai di lokasi setidaknya menempuh perjalanan selama 25 menit untuk tiba di kediaman sang penenun Sunarih (72). Di rumah yang cukup sederhana, Ia biasa melakukan kegiatan menenun di teras samping rumahnya yang berukuran 3 X 2 meter.
Sunarih ibarat cahaya dibalik lestarinya tenun gedogan di Indramayu saat ini, tanpa rasa lelah, Ia terus berjuang mempertahankan warisan budaya kain khas leluhurnya agar tidak hilang tergerus arus perubahan zaman. Ya, meskipun usianya sudah tak muda lagi, namun semangatnya terus menyala dengan harapan ada lintas generasi yang bisa meneruskan perjuangannya dalam menjaga warisan wastra asli dari Desa Juntikebon, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu ini.
BACA JUGA:Penemuan Mayat Satu Keluarga di Paoman Bikin Geger Warga, Diduga Korban Tindak Kekerasan Berujung Maut
Sunarih mengaku tidak tahu secara pasti kapan tenun gedogan ini mulai ada, yang ia ingat semasa kecil sering melihat nenek dan orang tuanya melakukan aktivitas menenun setiap hari saat waktu senggang, setelah musim tandur (tanam) dan panen. Karena menenun sudah mendampingi kehidupan keseharian kaum hawa pada saat itu, selain kaum adam melakukan pekerjaan bertani di sawah. Hingga tidak heran jika dulu semua anak perempuan pada masa itu bisa menenun.
“Sejak kecil sering melihat orang tua menenun, saya juga diajari. Pada saat itu perempuan harus bisa menenun selain memasak. Ibu dan nenek saya ketika pulang dari sawah selesai dari dapur, pasti menenun untuk mengisi waktu luang di rumah,” katanya.
Dahulu, sambung Sunarih hampir seluruh warga Desa Juntikebon mengandalkan menenun sebagai pekerjaan sehari-hari selain dari hasil bertani, sehingga pada saat itu kaum perempuan rata-rata memiliki kemampuan menenun. Tenun gedogan bisa digunakan untuk membuat sarung, selendang, atau keperluan kain rumah tangga lainnya, termasuk sebagai syarat seserahan pada saat acara pernikahan, orang tua mempelai wanita memberikan kain tenun gedogan yang nanti bisa digunakan untuk menggendong bayi.
“Hampir setiap rumah punya alat tenun, sekarang tinggal saya saja. Seingat saya perajin mulai berkurang itu pada tahun 2000, karena perempuan yang sudah remaja lebih milih kerja ke luar negeri, lebih menjanjikan hasilnya untuk perbaiki ekonomi keluarga,” ujarnya.
BACA JUGA:5 Pemain Naturalisasi yang Gabung Klub Super League 2025/2026, Persib Jadi Klub Jor-joran!
Sunarih mengungkapkan sejak itu menenun mulai ditinggalkan, apalagi tenun gedogan sudah mulai kalah bersaing dengan kain tenun hasil pabrikan yang bisa diproduksi secara masal, harganya pun lebih rendah. Berbeda dengan hasil tenun secara manual, penenun membutuhkan waktu sekitar 4 hingga 7 hari untuk menyelesaikan kain tenun gedogan berukuran panjang 3 meter dan lebar 60 centimeter, pengerjaannya juga dilakukan secara teliti agar motif dan kualitas kain terjaga, untuk harga jualnya antara Rp200.000 sampai Rp300.000 per kain.
“Karena tidak menenun lagi, warga yang punya alat tenun terbuat dari kayu disimpan di gudang rumah, lama kelamaan lapuk akhirnya rusak. Saya ingin tradisi warisan orang tua yang diturunkan secara temurun bisa terus terjaga hingga generasi ke generasi, karena tenun gedogan peninggalan leluhur yang wajib dijaga, jangan sampai hilang termakan zaman,” tutur Sunarih penuh harapan.
Setelah 25 tahun penantian tenun gedogan di Indramayu mulai alami kebangkitan, itu semua berkat kerja keras dan dukungan semua pihak. Sekarang Sunarih sebagai perajin tidak berjuang sendirian lagi dalam menjaga warisan leluhur, berkat dukungan dari Pemerintah Kabupaten Indramayu, melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Indramayu, Dinas Koperasi, Perdagangan, dan Perindustrian (Diskopdagin) Kabupaten Indramayu, serta Dinas Pariwisata Kabupaten Indramayu. Dibantu PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) RU VI Balongan melalui program pelestarian budaya, berupaya mengangkat jejak sejarah dan identitas masyarakat pesisir Indramayu ini.
Terpisah, Pamong Budaya Bidang Kebudayaan pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Indramayu, Suparto Agustinus mengungkapkan ada hal yang menarik terkait sejarah tenun gedogan di Desa Juntikebon, tenun ini sudah ada sejak zaman kolonial belanda sekitar tahun 1800, kemudian alami masa kejayaan pada tahun 1900 awal.
BACA JUGA:Pinjaman Darurat BCA 2025, Cocok untuk Kebutuhan Mendesak, Simak Syarat Pengajuannya
Namun, seiring perkembangan zaman di tahun 1990 tenun gedogan hampir tidak dikenal, baru kemudian pada tahun 2000 Pemerintah Kabupaten Indramayu melalui bidang kebudayaan yang pada saat itu masih bergabung pada Dinas Pariwisata melakukan pencarian kain-kain tradisional.
“Kalau tidak salah antara tahun 2010 atau 2011 kita temukan temukan kain tenun di ibu Kartini sekarang sudah meninggal, saat itu masih ada sekitar lebih dari 10 perajin, termasuk Ibu Sunarih,” ujar Suparto Agustinus yang akrab disapa Tinus ini.
Tinus menceritakan tenun gedogan pada masa kolonial sudah menghiasi perjalanan aktivitas kehidupan masyarakat di Desa Juntikebon, Kecamatan Juntinyuat. Kaum perempuan pada waktu itu mayoritas bekerja menenun dirumahnya masing-masing, sehingga tidak heran apabila hampir disetiap rumah warga memiliki alat tenun tradisional.
Bagi masyarakat Juntikebon menenun adalah aktivitas untuk mengisi waktu luang setelah musim tandur (tanam), dan setelah musim panen. Pada masa itu, tidak semua orang bisa memakai kain tenun gedogan hanya strata menengah ke atas saja yang mampu memilikinya.
BACA JUGA:Kalah 3-2, Calvin Verdonk Tampil Gagah Tutup Perjalanan Gemilang di NEC!
“Ini maaf ya, pada masa itu hanya kalangan strata menengah ke atas saja yang punya kain tenun gedogan, kalau menengah kebawah tidak bisa membeli karena harganya cukup lumayan, sampai sekarang juga harganya masih cukup lumayan,” kata Tinus.
Tinus mengungkapkan berdasarkan berbagai sumber, para Budayawan Kabupaten Indramayu sepakat penamaan tenun khas Indramayu ini “gedogan” berasal dari ritme khas yang terdengar saat bagian-bagian alat tenun saling menyahut menimbulkan bunyi dog..dog..dog, bunyi inilah kemudian menjadi identitas nama tenun dari Juntikebon, Kabupaten Indramayu tersebut. Teknik menenunnya yang masih tradisional dengan cara duduk di lantai (lemprok), ini juga yang membedakan tenun gedogan dengan tenun lain di Nusantara.
Tenun gedogan memiliki perbedaan dengan tenun-tenun lainnya di Nusantara baik dari segi motif dan warna, misalnya tenun dari Jawa Tengah satu warna, dari Palembang Sumatra lebih bermotif penuh warna, sedangkan tenun gedogan sama halnya dengan wilayah-wilayah di Flores bermotif geometris, dengan warna cerah wilayah pesisir seperti hijau, merah, atau kuning.
Selain itu, sambung Tinus cara pembuatannya juga membedakan tenun gedogan dengan tenun lainnya. Tenun lain perajin bisa melakukan aktivitas menenun dengan berdiri ataupun duduk, sedangkan penenun gedogan, duduk tidak memakai kursi kalau bahasa lokal menyebutnya dengan kata lemprok beralaskan tikar, alat tenunnya ditopang pada pinggang dan kaki perajin.
BACA JUGA:Berapa Cicilan Pinjaman KUR BRI Plafon Rp200 Juta Perbulan? Apa Saja Syarat dan Cara Pengajuannya?
“Motif-motif kain memiliki simbol ya, karena dulu kain tenun gedogan dipakai pada saat menikah, orang tua wanita membawakan kain ini untuk hadiah, yang bisa dipakai untuk menggendong bayi agar tidak nangis, ini awal. Seiring bergesernya waktu berbeda lagi, bisa untuk membawa gendongan saat acara adat desa sedekah bumi atau mapag sri karena serat kainnya sangat kuat,” papar Tinus.
Terkait keberadaan perajin tenun gedogan di Desa Juntikebon yang tersisa satu orang yaitu Sunarih. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Indramayu melakukan berbagai upaya agar keberadaan tenun dari pesisir Indramayu tetap terjaga baik itu betuk kain tenun dan teknik menenunnya. Mulai dari mengikuti sertakan ke berbagai event seni dan budaya tingkat provinsi dan nasional, termasuk mengenalkan tenun gedogan ke Balai Pelestari Nilai-nilai Budaya (BPNB), dan menyimpannya di museum Sri Baduga Bandung, Jawa Barat, sebagai pengenalan bahwa di Indramayu terdapat warisan budaya kain tenun yang masih terjaga hingga sekarang.
Menurut Tinus untuk melestarikan warisan kain tradisional ini, Disdikbud Kabupaten Indramayu menjalin kerjasama lintas sektoral seperti dengan Dinas Pariwisata Kabupaten Indramayu dan Dinas Koperasi, Perdagangan, dan Perindustrian (Diskopdagin) Kabupaten Indramayu, termasuk dengan Pemerintah Desa Juntikebon.
“Untuk melindungi tenun ini, Pemkab Indramayu mengangkat tenun gedogan sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) pada tahun 2023, untuk melestarikannya membutuh peran serta bersama, karena sang perajin tinggal satu,” ujarnya.
BACA JUGA:Berapa Cicilan Pinjaman KUR BRI Plafon Rp200 Juta Perbulan? Apa Saja Syarat dan Cara Pengajuannya?
Sebagai langkah melestarikan tenun gedogan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Indramayu juga berupaya merancang muatan lokal (Mulok) yang didalamnya memuat bagaimana mengenalkan tenun gedogan sejak dini, khususnya kepada siswa SD dan SMP di wilayah Kecamatan Juntinyuat. Pada mulok tersebut tidak sebatas dikenalkan kainnya, namun dikenalkan bagaimana teknik menenunnya yang masih sangat tradisional, agar generasi muda dan masyarakat tidak saja bangga terhadap tenun gedogan, tetapi bangga pada teknik menenunnya.
“Butuh peran bersama untuk melestarikan tenun ini, termasuk masyarakat di Kecamatan Juntinyuat, disamping langkah Disdikbud yang rutin mengikut sertakan tenun gedogan pada pameran-pameran wastra, agar masyarakat tahu bahwa ada warisan tenun asli di Kabupaten Indramayu,” ungkap Tinus.
Ia optimis tenun gedogan tidak akan punah, karena yakin akan ada yang meneruskan semangat perjuangan sang penenun gedogan Sunarih (73) di Desa Juntikebon, dengan dukungan semua pihak, ditambah dukungan dari PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) RU VI Balongan yang memberikan perhatian lewat program TJSL dengan memberikan bantuan alat tenun bukan mesin (ATBM) pada tahun 2024, yang bisa digunakan warga sekitar berlatih cara menenun langsung dari Sunarih.
“Kalau punah tidak, saya yakin pasti ada generasi selanjutnya karena almarhum ibu Kartini sudah ada anaknya yang sedikit mulai merintis, mulai belajar lagi, mungkin juga tetangganya, dan ibu Sunarih juga sudah warga ada yang mulai ketertarikan setelah ada bantuan ATBM dari Kilang Balongan,” kata Tinus penuh optimis. (oni)
BACA JUGA:Timnas Indonesia Panggil 29 Pemain untuk FIFA Matchday September 2025, Ada Dua Wajah Baru!